Jumat, Agustus 08, 2008

Sabar 05| Di Depan Penghulu, Sebuah Kewajibanku

Pagi itu, bergetar telepon genggamku memunculkan sebuah pesan singkat, "Tanggal pernikahannya sudah ditentukan, Akad nikahnya besok pagi, di rumah.". Setelah membaca pesan singkat itu, tidak bisa lagi kurasakan hawa dingin udara pagi di dalam kamarku, yang kurasakan justru badanku mulai menguap, mengalirkan butir-butiran keringat di mukaku. "Ya, Allah. kenapa ini?" begitu sepertinya mulutku mau mengucap tapi tertahan. Aku tidak peduli lagi pada lembaran-lembaran kerjaanku, hasil print semalam, berubah kusut terinjak kakiku. "Lembaran itu bisa diprint ulang, tapi ini lebih mendesak, aku harus nelpon rumah" begitu sepertinya batinku memaksa tubuh ini keluar rumah sambil terus mencoba menghubungi rumah yang mendadak susah dihubungi.

"Lha kowe keliatan bingung Bar, katanya dah siap, kok keluar masuk, keluar masuk melulu" aku acuhkan omongan teman sekontrakanku itu. Aku kembali masuk kamarku menginjak lagi kertas-kertas yang keliatan sekusut mukaku. Aku hanya bisa duduk menyudut di pojok kamarku. Yang terbayang dalam pikiranku saat itu tentu saja wajah muram Ibuku, bagaimana 4 bulan yang lalu ibuku pernah menanyakan, "Kowe jadi pendadaran tho?" aku menjawab dengan berat "Masa pending sampai tiga kali Mbok". Berat memang aku menjawab pertanyaan Ibuku, 2 kali pending pendadaran membuatku merasa makin menjauhkan harapan Ibuku atas aku.

Aturan di kampusku memang mengharuskan skripsi dikerjakan berdua dan pendadaran pun terjadwal 3 bulan sekali dengan embel-embel tidak boleh diganggu gugat. Jawaban atas pertanyaan ibuku itu bukan tanpa dasar. Ada kesangsian besar yang saya rasa terlalu kuat untuk dapat dihilangkan. Kesangsian untuk tidak gagal ketiga kalinya terbentur kontrak mengajar partner skripsiku yang baru selesai tiga bulan kedepan.

Dua kali kegagalan pendadaran yang lalu semua karena kami kurang menguasai materi skripsi, begitu pembimbingku memberikan alasan penolakan persetujuan pendadaran. Maklum saja sejak memasuki semester delapan, kampus menjadi terlalu susah untuk dijangkau oleh kami. Kami berdua lebih meluangkan waktu kami di luar kampus, dalam keyakinan kami ingin mencoba-coba mencari uang sendiri. Hingga bisa ditebak, di dalam kepala kami materi-materi kuliah telah tergantikan dengan hukum-hukum ekonomi bagaimana mencari untung dan bagaimana supaya tidak merugi.

"Saya tetap tidak akan menanda tangani surat ini selama kalian berdua belum siap benar, saya tidak mau kalian mengulang atau lulus tidak sama-sama, lha wong kalian ngerjakan sama-sama Tho?" pembimbingku menolak untuk yang ketiga kalinya. Begitu mendapatkan penolakan yang ketiga kalinya, aku sudah tidak begitu kaget lagi, seperti yang sudah aku duga sebelumnya. Di jalan pulang, partner skripsiku meinta maaf belum bisa menguasai benar skripsinya", aku pun menjawab "Jangan sampai terjadi yang keempat ya, cukup tiga kali. Tiga bulan lagi kita harus siap, aku minta tolong disiapkan benar-benar ya". Dan ketika di tanya oleh Ibuku aku menjawab "Beres, Ok Mbok". Aku berkata tidak jujur hanya dengan maksud meringankan sedikit beban pikiran ibuku. Tapi tidak dengan Yu Wati, Kakakku, dia tahu yang sebenarnya karena pada dasarnya dia pernah mahasiswa juga.

Setelah menunggu selama tiga bulan, Alhamdulillah kami lolos untuk pendadaran setelah pengajuan yang keempat kalinya dan telah ditetapkan pula jadwal pendadarannya tanggal 14 Oktober pukul 08.00 WIB. Bagaimana bingungnya aku ketika pagi itu, 13 Oktober, mendapatkan SMS bahwa akad nikah Kakakku, yang mengharuskan aku menjadi wali nikahnya karena memang nasabnya tinggal aku dan waktunya sama persis baik itu tanggal dan jamnya dengan jadwal pendadaranku. Aku langsung terhenyak, "Ini pasti peringatan Tuhan atas ketidakjujuranku pada Ibuku" batinku yakin.

Aku harus ada di dua tempat dalam satu waktu, jelas suatu kemustahilan. Mendampingi kakakku, melepas dia ke dalam rumah tangga baru tidak bisa aku abaikan begitu saja, itu kewajibanku. Di lain pihak, ketidakjujuranku sepertinya telah siap menikamku, merobek kepercayaan ibuku, bahkan bisa jadi keluarga calon suami Kakakku. Ini yang membuat kepala ini serasa mau pecah, bingung bagaimana mau ngomong yang sebenarnya ke Ibuku.

Baru ketika jam sudah menunjuk angka delapan aku baru bisa menghubungi rumah. "Ri, Yu Wati ada" itu kalimat pertama yang keluar dari bibirku begitu telepon diangkat yang dengan pasti kutahu suara Kakaku yang kedua, Riyanti.

"Ada, ada apa" jawab saudariku itu.

"Aku pengin ngomong ma Yu Wati, cepet" agak tinggi nadanya aku menyahut jawaban Kakakku itu.

Begitu Yu Wati yang di belakang telepon sana, aku memulai pembicaraan.

"Yu, sesuk bener akad nikahe" aku berusaha agak pelan ngomongnya.

"Yo, bener, kowe pulang tho?" ketika kakakku memberikan jawaban atas pertanyaan itu, lidah dalam mulutku ini berubah kelu, mau bergerak pun sepertinya susah apalagi mengeluarkan kata-kata. Aku hanya diam dan kurasakan dari dua sudut mataku telah mengantri air untuk jatuh yang akhirnya memang tak bisa kutahan-tahan lagi dan benar-benar jatuhlah air mataku. Aku merasa ketika Bapak pergi dulu aku masih bisa menahan. Tapi kini aku merasa lemah.

"Bar, ada apa Bar, ngomong!" kakakku mulai penasaran dengan diamku. aku tetap ga bisa ngomong.

"Bar, Ngomong!" berkali-kali kakakku memanggilku yang bisa kujawab dengan isakan tangisku. Aku bisa mendengar kalimat terakhir kakakku tadi telah bercampur dengan isakan tangis juga.

"Yu,Sampeyan ngerti ga, besok jam delapan aku pendadaran" meski dengan sangat pelan dan kepotong-potong aku beranikan memulai pembicaraanku lagi. Yu Wati tidak membalas dengan kata-kata hanya suara tangis yang ditahan-tahan yang kudengar. Lama tidak ada balasan, aku pun melanjutkan "Maaf Yu, sudah mengecewakan dan semuanya benar aku tidak bisa diandalkan!".

"Yu, Aku bisa pulang besok, tapi tolong bantu ngomong ke Mbok ya, aku tidak bisa ngomong sendiri" dengan begitu berharap, yang aku sendiri tidak tahu apa masih mau Kakakku membantuku lagi, aku menyambung kalimatku barusan. Hingga akhirnya kudengar suara kakakku tegas tidak dengan isakan lagi. Sebelum Kakakku mengeluarkan kata-kata, kudengar bunyi air yang diusap dan dibarengi suara nafas yang ditarik dalam-dalam.

"Ya, sudah besok kamu tetep ujian, jangan dipikirkan yang dirumak, fokus pada ujianmu saja, Ibu tentu tidak ingin mendengar kamu gagal lagi. Akad nikahnya nanti setelah kau pulang, setelah kamu selesai ujian. Biar nanti aku ngomong sama Ibu. Bar, Waline aku tetep kamu ga ada wali hakim. Wis siapkan ujianmu, keluarga menunggumu besok, setelah kamu ujian. Ojo nangis lanang kok nangis. Assalamu'alaikum" begitu keputusan Kakakku sebelum kemudian menutup telefon.

"Walaikum salam" aku menjawab pelan sambil memejamkan mataku, merasakan tetesan air terakhir yang keluar dari sudut penglihatanku.

Empat belas oktober, pagi hari sebelum aku berangkat Ibuku menelpon dan memberi pesan khusus "Kamu tidak usah mikir yang dirumah, Kamu pikirkan ujianmu, nanti selesai kamu pulang, keluarga nanti nunggu kowe". Pukul satu siang, secara resmi pembimbing dan pengujiku menyakan kami lulus. Hagung, partner sekripsiku yang sudah tahu kejadian kemaren, menawarkan aku untuk balik sama-sama kerumahku naik motor, biar cepet katanya.

"Makasih Gung, aku naik bis saja. Beritahu Ibu, kita sudah selesai. aku pulang dulu", aku lihat matanya berkaca-kaca, tidak jauh beda denganku. Malu, mrebes di depan teman-teman satu kostan?. Tidak, buat aku kebersamaan kami selama ini, melakukan penelitian, kerja praktek dan terakhir skripsi bersama-sama telah melunturkan rasa malu itu.

Sehabis Magrib aku baru sampai di rumah. Aku langsung masuk ke dalam, melewati orang-orang yang sedang duduk dikursi depan tanpa salaman atau sekedar menyapa mereka. Yang kucari hanya tangan Ibuku dan Kakak-kakakku. Keinginan minta maaf itu rasanya sudah tidak bisa ditunda-tunda lagi. Akhirnya kutemui juga tangan-tangan itu, belum sempat mengucap maaf, dipeluknya badanku oleh ibuku dan kedua Kakakku. Sesenggukan kami bertiga, dan kulihat pipi Bu lik-Bu likku, Bu Dhe-Bu Dhe ku sembab juga melihat kami bertiga.

"Wis, salami dulu keluarga di depan habis itu Magrib sono. Penghulu sudah menunggu" kudengar Pak Dheku memintaku pelan. Tidak lama setelah jam dinding di ruang tamuku berbunyi tujuh kali, akad nikah selesai. Setelah keluarga besan Kakak iparku pulang, saudara-saudaraku kumpul bareng. Entah kebetulan atau memang diskenario, aku tidak tahu, pandangan saudara-saudaraku kulihat sama, tajam mengarah ke wajahku. Pandangan yang meminta pertanggungjawaban atas perbuatanku. Tiba-tiba saja salah satu sepupuku nyeletuk memecah suasana yang sudah tegang, "Kok kayak sinetron saja ya", spontan semua tertawa terpingkal-pingkal.

Hari itu, jujur saja aku lupa berdoa atas diberiNya anugerah ulang tahun kepadaku, yang sehari sebelumnya adalah hari kau dilahirkan kedunia ini. Yang bisa terucap dari bibirku hanyalah ucapan terima kasih kepada Tuhan yang telah diberi kempatan tumbuh dan besar di antara saudara-daudaraku dan tentuanya kedua orang tuaku.

Related Posts by Categories



Widget by Scrapur

DiggTechnorati del.icio.us StumbleuponReddit Blinklist Furl Spurl Yahoo SimpyAddThis Social Bookmark Button

0 komentar:

Posting Komentar