Dulu, sebuah desa kecil, bahkan mungkin paling kecil se-Indonesia Raya karena hanya dihuni tidak lebih dari 1000 jiwa, disitu aku dilahirkan, di tanah itu juga ari-ariku berdiam. Jauh dari "peradababan" mungkin orang-orang sekarang bilang, bagaimana tidak?
Jangankan aspal, batu-batu berjejer yang ditata rapi saja sudah menjadi satu keberuntungan. Dari pada dulu, ketika aku kecil, jalannya masih "murni" dari tanah, hingga ketika hujan terpaksalah "nyincing" sebagian celana atau rok sebatas lutut waktu melewati jalan desaku itu.
Satu yang paling mengingatkanku pada tempat dimana aku keluar dari rahim ibuku seperempat abad yang lalu adalah Semilir angin. Hal yang lumrah memang karena di sebelah barat rumahku memang berdiri tegap Gunung Sindoro dan di bagian selatan berdiri juga "saudara kembar"-nya Gunung Sumbing. Semilir angin (dinginnya angin, sekarang aku nyebutnya demikian) selalu membangunkanku tiap paginya, ambil wudhu pun rasanya berat sekali.
Jangankan aspal, batu-batu berjejer yang ditata rapi saja sudah menjadi satu keberuntungan. Dari pada dulu, ketika aku kecil, jalannya masih "murni" dari tanah, hingga ketika hujan terpaksalah "nyincing" sebagian celana atau rok sebatas lutut waktu melewati jalan desaku itu.
Satu yang paling mengingatkanku pada tempat dimana aku keluar dari rahim ibuku seperempat abad yang lalu adalah Semilir angin. Hal yang lumrah memang karena di sebelah barat rumahku memang berdiri tegap Gunung Sindoro dan di bagian selatan berdiri juga "saudara kembar"-nya Gunung Sumbing. Semilir angin (dinginnya angin, sekarang aku nyebutnya demikian) selalu membangunkanku tiap paginya, ambil wudhu pun rasanya berat sekali.
0 komentar:
:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =))
Posting Komentar