Selasa, September 02, 2008

Cerpen 01 | Terakhir Kali Kunikmati Senyummu

Tersungging senyuman yang tidak biasanya keluar dari bibir tipisnya. Semua orang mengakui bahwa senyuman seperti itu adalah sesuatu yang mahal pada dirinya, bahkan sebagian orang mengatakan hal yang langka dan hampir punah jadi wajib dilestarikan. Seorang laki-laki telah berhasil menjaganya agar tidak ada kepunahan pada dirinya itu. Hari ini langit putih tanpa noda sedikit pun.

Berjalan dirinya mengenakan kebaya warna merah muda dengan kain cokelat muda sebagai bawahannya, terlau lain dirinya sekarang, mungkin karena senyuman yang terus menerus mengembang dari wajahnya.

Wajahnya hari ini serupa mawar benar. Dengan kebaya merah mudanya dan lebih-lebih lagi kerudung menutupi alun rambutnya, bukan sekedar kerudung jilbab lebih tepatnya. Lembaran kain yang menutupi kepalanya itu tidak pernah sekalipun aku pernah lihat menempel di kepalanya tapi sekarang melekat erat menyatu dalam pribadinya yang makin serupa mawar saja, batin aku berkata demikian.

Sudah dari berbulan-bulan kemarin aku menumpuk semua jadwal pekerjaanku di hari ini, persis pada bulatan merah pada kalender di kamarku. Tiba-tiba saja hari jumat sore selepas pulang dari pasar, jadwal yang sudah terencana lama itu lari dengan sendirinya.

Entah tenaga siapa yang mendorong jemari tanganku untuk menekan nomor-nomor dalam telepon genggamku. Berapa nomer yang kuhubungi, ingatanku telah kehilangan rekamannya. Setahuku kalimat yang keluar ketika aku menghubungi nomor-nomor tersebut semua sama, “Maaf , besok aku berhalangan, tidak bisa melakukan apa yang telah kita sepakati untuk besok. Mohon maaf banget ya. Mendesak banget soalnya, Ahad pagi nanti saya hubungi lagi, terima kasih”.

Kegundahan di Sabtu pagi pun tak terelakan. Mau apa jadi enggan yang muncul, semua seperti hampa, kosong benar-benar tak berisi. Barangkali ini hari adalah hari paling tak berisi dalam perjalanan hari-hariku.

“Berangkat?” setelah mengucapkan salam kalimat itulah yang keluar dari mulut temanku., Nug. Dan aku tahu maksud pertanyaannya. Belum juga menjawab sudah ada lagi pertanyaan, lebih tepatnya sih pernyataan, “Nomermu ga aktif, dihubungi ga bisa, jadinya di hapeku smsnya, ni baca sendiri kalo ndak percaya”.

Tanpa dia bilang pun aku percaya, karena memeng hanya dia saja yang masih sering berhubungan dengan saya di kota ini, jadi undangannya pasti nempel ke dia. Tapi sepertinya akal-akalan dia saja biar ada temen, tapi biarlah meski aku nanti jadi tamu tak diundang. Kebanyakan teman-temanku sudah mengembara ke kota lain di negeri ini. Tinggal beberapa gelintir saja yang masih mendekam di kota ini.

Tak kulihat telpon genggamnya, langsung saya berdiri dari tiduranku melangkah ke kamar mandi. “Nyaliku tak sekecil dulu. Jam sembilan berangkat ya” muncul juga jawabanku atas pertanyaannya tadi. Sambil melangkah ke kamar mandi mengalir dalam pikiranku tentang jawabanku tadi “Nyaliku tak sekecil dulu”. Kalimat yang tidak sepenuhnya sesuai dengan batinku sendiri.

Dulu ketika teman-teman mengadakan pernikahan, dengan suka hati aku menawarkan untuk menjadi semacam EO, khusus untuk teman-teman seangkatan. Dari menghubungi dan mengantarkan undangannya langsung ke teman-temanku yang masih ada di kota ini dan kota-kota terdekat. Yang berada jauh sekalipun, undangan biasanya aku scan dan aku kirimkan lewat e-mail ke semua teman-temanku dan tak lupa nelpon sekedar mengingatkan.

Ingatanku memutar rekaman pernikahan Putera, Wijaya, Khusnul. Dan biasanya aku sendiri rela keluar keringat sedikit, demi kekeluargaan, persahabatan, kekeh batinku berkata begitu. Tetapi sekarang, sejak tiga minggu yang lalu hape sudah kumatikan. “Bagaimana bisa laki-laki seperti itu punya nyali” gerutu batinku sendiri.

Sekarang aku sudah duduk disini, aku mengambil kursi yang agak jauh dari jalannya pengantin, di samping meja dengan gelas-gelas yang masing kosong, belum terisi minuman.

“Mat..mat….peganging..pegangin…ntar bikin masalah ni orang.” Putera berbisik ke Ahmad sambil memegang pundakku dari belakang tepat ketika pengantin itu lewat di sampingku. Aku hanya tersenyum menjawab gurauan teman-temanku. Ningsih yang juga isterinya Putera hanya terpingkal-pingkal melihat tingkah laku kami.

Semenjak lewatnya perempuan dengan kebaya merah muda dengan lelaki di sampingnya itu aku jadi banyak senyum. Hanya sesekali senyum itu berhenti. Tak aku hiraukan bagaimana teman-teman disampingku menganggap aku apa, menganggap gila sekalipun.

Suara pembawa acara yang mempersilahkan bagi teman-teman kampus untuk mengambil tempat pada sesi foto dengan pengantin menghentikan pengembaraan otak saya. Gubrak!!!!Teman-teman di sampingku sudah berdiri semuanya, tiba-tiba tubuh mereka mematung dengan wajah yang serupa melihatku masih lekat di atas kursi hijau ini. Tanpa keluar kata-kata dari mulut mereka, aku tahu wajah mereka menyiratkan kalimat paksaan “Ayo!!”.

Aku merasa kakiku dibebani berkarung-karung beras yang selalu kulihat dipanggul kuli-kuli pasar. Tubuhku seperti dipaku dengan kursi persis seperti tawanan yang sedang menunnggu eksekusi mati di atas kursi listrik.

Dan aku pun beranjak dari kursiku, melangkah dan menikmati senyummu yang terakhir kali. Meski itu salah, Maaf. (Bersambung)

Related Posts by Categories



Widget by Scrapur

DiggTechnorati del.icio.us StumbleuponReddit Blinklist Furl Spurl Yahoo SimpyAddThis Social Bookmark Button

0 komentar:

Posting Komentar