Senin, September 01, 2008

Sabar 09 | Kalau Perlu Bunuhlah Aku

Yups, ini artikel nyantol banget di ingetanku. Seingatku, aku dulu baca artikel ini di warung makan mas Budiman, sepertinya yang punya namanya bukan Budiman tapi kosnya berjudul Budiman, kadung latah aku nyebut aja warung Budiman. Searching di google di dapat lah ini, penulisnya tidak inget, jujur dan bodoh banget aku sampe penulisnya tidak ingat. yang tak ingat cuma artikelnya di kanan atas halaman sebelah kanan, bingung? tidak usah, saya saja bingung. Langsung baca saja y tabungan comotan saya ini. di peroleh dari sini.

Kalau Perlu Bunuhlah Aku

Bulan depan bangsa ini merayakan kemerdekaan yang ke-63. Apa boleh buat, nyaris semua warga makin hari makin merasa belum merdeka.

Tanggal 12 Juli kampanye Pemilu 2009 resmi dimulai melalui metode rapat tertutup. Namun, awal pesta demokrasi itu justru disambut sikap waswas dan apatis.

Ambil contoh, jumlah golput pilgub di provinsi-provinsi besar, hampir separuh dari total jumlah pemilih. Di satu pihak, golput merupakan koreksi terhadap demokrasi yang timpang, di lain pihak menjadi masalah yang memprihatinkan.

Tak sedikit warga waswas dengan ”keramaian politik” yang malah menjadi ajang kekerasan. Peristiwa di Monas 1 Juni lalu atau demonstrasi mahasiswa yang berubah menjadi kerusuhan menimbulkan rasa khawatir terjadi lagi saat kampanye.

Undang-Undang Pemilu dirumuskan dengan asal-asalan. Misalnya, yang mengatur porsi pemberitaan media yang harus merata, berikut risiko-risiko yang dihadapi wartawan.

UU itu dengan serampangan menyebutkan pencabutan izin terbit bagi media yang dianggap tak adil dalam pembagian porsi pemberitaan. Padahal, izin seperti SIT atau SIUPP tak ada lagi.

Akar dari seluruh persoalan adalah kepemimpinan elite nasional yang makin hari makin terasa absen. Pemerintah sudah lame duck alias praktis tak berbuat apa-apa lagi.

Kalaupun ada proses demokrasi, itu bersifat sporadis dan tak bermanfaat bagi kemaslahatan bangsa. Misalnya, hak angket DPR yang meminta pemerintah menjelaskan seluk-beluk kebijakan migas nasional.

Apa rakyat peduli dengan hak angket? Seperti biasanya terjadi, demokrasi brouhaha (bising) macam itu cuma jadi ajang tawar-menawar untuk kepentingan pribadi atau partai.

Dari luar pemerintah tampak hebat karena menjalani strategi politik yang berurusan dengan penguatan citra. Padahal, tak sedikit yang menduga telah terjadi kepanikan internal yang luar biasa.

Ingat cerita petinju legendaris Muhammad Ali menjalani strategi rope-a-dope yang menguras tenaga George Foreman? Setelah menunggu Foreman letih, Ali yang terus-menerus bertahan di tali ring dengan mudah memukul knock-out lawannya.

Berbeda dengan pemerintah yang tak mempunyai strategi jelas karena sedang bingung. Ibarat petinju, yang dilakukan tak lebih dari shadow boxing saja.

Ujudnya dengan cara main serbu, gebuk, atau tangkap. Akibatnya, seorang alumni Universitas Nasional tewas setelah dirawat selama beberapa hari.

Dan, lihatlah fakta yang menyedihkan. Lebih banyak yang menuding almarhum meninggal karena AIDS dan tak satu pun pejabat secara terbuka menyatakan ikut berdukacita.

Jangankan berdukacita, minta maaf pun tidak. Ibu almarhum adalah pegawai rendah di Deplu yang sudah lama kehilangan seorang anak dan suaminya yang saat hidup berprofesi guru.

Bangsa yang merdeka sewajarnya bermartabat. Tetapi, ada yang mengucapkan kata ”sontoloyo” yang lebih menghebohkan daripada pernyataan seram ala Orde Baru seperti ”OTB” (Organisasi Tanpa Bentuk) atau ”setan gundul”.

Bung Karno ngetop karena kalimat ”go to hell with your aids” atau ”revolusi belum selesai”. Gus Dur terkenal dengan kalimat ampuh ”gitu aja kok repot”.

Namun, sontoloyo? Kalau sedang kesal, Anda paling hanya berani mengucapkan loyosonto (pembalikan sontoloyo) karena khawatir orang tersinggung.

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, sontoloyo berkonotasi jelek. Tak diketahui asal-usul kata ”sonto”, tetapi ”loyo” artinya tak bertenaga.

Ketidakmartabatan tampak pula dari obrolan antara para jaksa dan Artalyta Suryani di telepon yang disadap KPK. Inilah obrolan yang menakjubkan, puitis, simbolis, dan dramatis.

Itu menakjubkan karena berdampak nasional seperti fenomena goyang ngebor. Fenomena itu menyedot perhatian segenap kalangan, mulai dari tukang ojek sampai pengemplang dana BLBI, dari remaja sampai manula.

Hal itu puitis sehingga banyak yang memproduksi ulang potongan-potongan obrolan untuk menjadi nada dering telepon genggam yang laris manis bak pisang goreng. Demam ”kue donat” tahun lalu kalah heboh.

Disebut simbolis karena diperlukan ketajaman pikiran dan kedalaman batin seseorang untuk mengurai maksud dan tujuan obrolan itu. Agen-agen CIA paling andal sekalipun belum tentu mampu mengurai kode- kode yang terdapat di dalamnya.

Dan, obrolan itu dramatis karena jalan ceritanya berbelit-belit sehingga sukar menebak babak akhirnya. Satu hal yang pasti, dari obrolan itu Anda bisa mempelajari teknik korupsi dan membuat skenario pelecehan hukum.

Korupsi semakin menggila. Jika diandaikan, ia ibarat ”pesta dayak” yang digemari anak muda pada tahun 1970-an karena dicampur aduk dengan ganja serta alkohol dan berlangsung sampai pagi.

Namun, korupsi di negeri ini sudah bersifat antiteori karena tidak kenal lagi prinsip ”tidak ada pesta yang tidak akan berakhir”. Jika meminjam slogan iklan yang manjur yang terjadi ”tiada hari tanpa korupsi”.

Terlalu banyak agenda kebangsaan yang wajib kita—tanpa menunggu prakarsa pemerintah—perbincangkan bersama sebelum 17 Agustus 2008. Bangsa ini sudah terlalu menderita ibarat lirik lagu asmara yang digemari mereka yang putus asa.

Lirik itu tak hanya berbunyi ”pulangkan saja aku ke rumah orang tuaku”. Namun, keterpurukan bangsa sudah sampai pada tahap ”kalau perlu bunuhlah aku”.

Related Posts by Categories



Widget by Scrapur

DiggTechnorati del.icio.us StumbleuponReddit Blinklist Furl Spurl Yahoo SimpyAddThis Social Bookmark Button

1 komentar:

Sabar Setiyadi mengatakan...

:)]

Posting Komentar